Bukan Tamu di Rumah Sendiri

ESENSIAL NEWS – Di sebuah kampung kecil yang dikelilingi sawah, suara burung pagi, dan gemericik air irigasi yang mengalir tenang, berdiri sebuah rumah tua. Di sanalah seorang anak manusia dilahirkan, dibesarkan, dan diajarkan tentang kehidupan. Rumah itu bukan hanya tempat tinggal, ia adalah saksi bisu dari tawa yang riuh, tangis yang diam-diam, juga segala cita-cita kecil yang pernah tumbuh dalam diam.

Waktu mengubah segalanya. Orang tua telah tiada, menyisakan rumah itu sebagai warisan, sekaligus medan sunyi tempat kenangan-kenangan menggantung. Anak-anak mereka telah menyebar ke banyak tempat, ke negeri yang jauh, ke arah yang tak selalu saling sapa. Rumah itu pun tak lagi ramai seperti yang dulu. Ia hanya menjadi tempat singgah bagi mereka yang pulang, dan tempat tinggal bagi yang merasa lebih dulu menetap.

Dan pada suatu hari, salah satu dari anak-anak itu kembali. Ia pulang bukan untuk menuntut, bukan untuk mengambil, tapi untuk menyentuh kembali potongan dirinya yang tertinggal. Ia ingin mencium bau dapur masa kecilnya, menapaki tanah yang dulu tiap pagi ia sapu, dan duduk di bawah pohon jambu yang pernah jadi tempat ia menyendiri saat dunia tak berpihak.

Namun yang ia dapati adalah tatapan asing. Bukan pelukan, bukan senyum. Ia dipanggil dengan nada formal, bukan penuh rindu. Ia diminta mengetuk pintu yang dulu ia buka tanpa takut. Bahkan saat ia duduk di ruang tamu, ia merasa seperti duduk di tempat orang lain. Lemari yang dulu ia isi bersama ibu, kini tertutup rapat. Ia tak berani menyentuh gelas di dapur, karena tahu tatapan yang akan datang: “Itu bukan lagi urusanmu.”

Padahal, secara hukum dan darah, ia masih memiliki hak. Namanya tertulis di lembar warisan. Ia bukan orang asing. Tapi di mata saudara-saudaranya, kepergiannya ke kota adalah perpisahan total. Seolah siapa yang menetap, dia yang berhak. Siapa yang pergi, cukup jadi penonton.

Inilah yang menyakitkan: ketika rumah masa kecil tak lagi menyambut sebagai rumah. Ketika saudara sendiri memposisikan kita sebagai tamu. Ketika hak yang sah kini telah ditutupi oleh kenyamanan sepihak dan keengganan berbagi.

Begitulah kadang keluarga. Bukannya karena tidak tahu, tapi karena memilih untuk tidaak peduli. Mereka lebih suka menguasai daripada berbagi, dan lebih nyaman melupakan daripada mengingat.

Padahal rumah, pada akhirnya, bukan sekadar siapa yang tinggal di dalamnya. Tapi siapa yang punya bagian jiwa di sana. Dan siapa pun yang pernah membasuh lantai rumah itu dengan air mata dan kerja keras, selayaknya bukan dianggap tamu  tapi bagian yang tak terpisahkan.

Karena rumah, bagi sebagian orang, adalah tempat pulang. Tapi bagi sebagian lainnya, rumah bisa menjadi tempat kehilangan paling sunyi ketika keluarga sendiri melupakan siapa yang dulu ikut membangunnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Berita & Artikel Terkait

ESENSIAL NEWS - Portal berita terpercaya yang menyajikan informasi terkini dan akurat dari berbagai bidang, termasuk politik, ekonomi, teknologi, gaya hidup, dan budaya. Kami berkomitmen untuk memberikan wawasan yang esensial bagi pembaca di seluruh Indonesia.