
Pernyataan Rocky Gerung, “Ijazah itu tanda Anda pernah sekolah, bukan tanda Anda bisa berpikir,” pernyataan tersebut menyoroti kembali pertanyaan mendasar tentang tujuan pendidikan. Apakah pendidikan kita hanya sebatas formalitas memperoleh ijazah, atau seharusnya menjadi wadah pembentukan pola pikir kritis?
Dalam realitasnya, sistem pendidikan kita masih menitikberatkan pada hafalan dan capaian akademik yang diukur melalui ujian. Kurikulum yang kaku sering kali membentuk generasi yang sekadar menguasai teori tanpa kemampuan menganalisis atau mempertanyakan informasi. Hal ini melahirkan fenomena di mana seseorang bisa memiliki ijazah tinggi, namun belum tentu memiliki kecerdasan kritis dalam menyikapi persoalan kehidupan.
Lebih dari itu, di masyarakat kita, ijazah sering kali menjadi alat ukur utama dalam menentukan kualitas seseorang, baik dalam dunia kerja maupun sosial. Gelar akademik kerap dianggap sebagai penanda kompetensi, sementara kemampuan berpikir kritis dan kreativitas justru kurang dihargai. Akibatnya, banyak individu berlomba-lomba mengejar gelar demi status sosial atau peluang ekonomi, bukan demi memperkaya wawasan dan meningkatkan daya analisis.
Namun, apakah ini berarti pendidikan formal tidak penting? Tentu tidak. Sekolah dan perguruan tinggi tetap memiliki peran krusial dalam membuka akses terhadap ilmu pengetahuan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana sistem pendidikan bisa lebih menekankan pada proses berpikir, bukan sekadar pencapaian akademik. Model pembelajaran yang lebih interaktif, berbasis diskusi, dan mendorong analisis kritis perlu menjadi fokus utama agar lulusan tidak sekadar menjadi penghafal teori, tetapi juga pemikir yang reflektif dan solutif.
Pada akhirnya, pendidikan sejati tidak hanya tentang mengumpulkan sertifikat, tetapi juga tentang membentuk individu yang mampu berpikir mandiri. Sebab, seperti yang dikatakan Einstein, “Pendidikan bukanlah belajar fakta, tetapi melatih pikiran untuk berpikir.” Maka, tantangannya bagi kita semua adalah bagaimana mengembalikan esensi pendidikan ke arah yang lebih substansial, bukan sekadar sekolah, tapi benar-benar berpikir.(*)